Novel karya Leila S. Chudori ini adalah sebuah karya fiksi yang menceritakan perjuangan aktivis kampus yang berjuang melawan kekejaman orde lama. Pembuatan novel ini juga dibuat berdasarkan riset dari hasil wawancara dengan narasumber-narsumber yang mengalami secara langsung kekejaman pada masa itu dan para ahli serta penduduk
Sebuah novel yang menyuguhkan berbagai macam pengalaman, perasaan, pengetahuan dan juga kepahitan yang dirasakan oleh orang-orang diluar sana atau mungkin disekitar kita yang tak terungkap atau sengaja tak diungkapkan.
Lelaki bernama Biru Laut Wibisono yang akrab dipanggil Laut oleh keluarga maupun kawan-kawannya adalah seorang yang pendiam namun dipikirannya terdapat ide-ide dan keyakinan yang kuat akan keinginannya untuk mengubah negara Indonesia yang dikuasai oleh rezim penguasa orde baru yang mengkekang kebebasan berpendapat warga negaranya.
Pembukaan cerita ini ialah sebuah ending yang menggambarkan bagaimana seorang Laut bertemu dengan laut secara harfiah. Penyiksaan terakhir sekaligus penuntun Laut kepada malaikat maut. Dari dasar laut dia bercerita tentang hidupnya dan tentang perjuangan teman-temannya melawan segala ketidakadilan yang terjadi saat itu.
Cerita pada novel ini disajikan dengan alur campuran ketika Laut disekap dan mundur ketika dia baru bergabung dalam "Winatra" yakni sebuah perkumpulan aktivis dari Universitas di Yogyakarta. Dia menceritakan awal pertemuannya dengan teman-temannya dan latar belakang mereka satu per satu dibumbui dengan perasaan atau kesan dari Laut sendiri tentang mereka seperti ketika dia bercerita tentang sosok Anjani maupun Kinan yang mirip dengan adiknya yang memiliki nafsu makan yang besar meskipun bertubuh mungil dan kepribadian mereka yang kuat sebagai seorang wanita.
Novel ini dibagi menjadi dua bagian, yang pertama, cerita dari sudut pandang Laut dan yang kedua, cerita dari sudut pandang Asmara yang merupakan adik Laut.
Jika cerita pertama banyak menjelaskan tentang bagaimana Laut berjuang bersama teman-temannya yang dipenuhi suasana tegang dan sesekali lucu dan bahagia. Bagian kedua dipenuhi oleh adegan-adegan yang sangat sedih, menyakitkan, dan membuat hati teriris.
Novel ini ditulis dengan tata bahasa yang mudah dipahami meskipun terdapat beberapa bahasa daerah dan terselip retorika yang mengandung unsur politik atau kalimat-kalimat puitis yang dikutip dari sastrawan pada periode tersebut.
Secara keseluruhan, novel ini mengajarkan kita untuk tidak menutup mata pada setiap kelalaian atau penyimpangan dalam pemerintahan. Jangan sampai hati nurani kita terhalang oleh sifat apatis dan rasa takut. Seperti tokoh Laut ini yang berjuang menegakkan keadilan dengan cara yang cerdas bersama teman-temannya untuk meruntuhkan penguasa yang otoriter dan anti kritik.
Kutipan dalam novel ini:
Matilah engkau mati
Engkau akan lahir berkali-kali
Komentar
Posting Komentar
Beri saya kritik dan saran yang sesuai pada kolom komentar